Konferensi Perempuan HKBP 2021 Hari Kedua Dilaksanakan



Pearaja, Tarutung – Kamis (25/3/21), Konferensi Perempuan HKBP 2021 yang telah dibuka pada Rabu (24/3/21) telah memasuki pelaksanaannya di hari kedua. Konferensi kembali dimulai dalam ibadah pagi yang dipimpin oleh Bvr. Berwani Gultom. 

 


Seusai ibadah pagi dilaksanakan, Sekretratis Jenderal HKBP, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST., memberikan pesan kepada para peserta konferensi dari Gedung Raja Pontas Lumbantobing. Dalam pesannya, Sekjend menyampaikan, “Ada tiga hal yang saya sampaikan dengan singkat, pertama dari sudut ajaran Alkitab dan Konfessi HKBP bahwa kita adalah laki-laki dan perempuan sama-sama imago Dei, sama-sama gambar Allah sebagaimana dalam Kejadian 1:26-27 dan ini ditegaskan kembali dalam Konfessi HKBP bahwa laki-laki dan perempuan sama harkatnya di hadapan Tuhan. Ini sangat penting untuk kita jemaatkan kepada seluruh generasi di HKBP. Itu sebabnya kalau ada koor di HKBP Parlilitan, “Jahowa pangurupi”, kata pangurupi bukan menunjukkan kerendahan, bukan menunjukkan status yang rendah, tetapi sebaliknya kata pangurupi yang dikenakan kepada Allah di sini dan kata yang sama yang dikenakan pada perempuan dalam agenda pernikahan. Untuk itu bukan penghapusan kata ini yang kita butuhkan tetapi yang kita butuhkan adalah penghapusan diskriminasi kepada perempuan karena kata ini sangat positif. Kedua, soal peranan perempuan di HKBP. Bapak, ibu tidak kita ragukan sedikitpun sepanjang sejarah memang beberapa tahun yang lalu ada penelitian Universitas HKBP Nommensen bahwa yang aktif bekerja itu di HKBP dan mungkin tidak ada perubahan sampai sekarang, hanya 40% yang aktif, 60%-nya tidak tahu dimana. Dan ketika saya jalani gereja-gereja ketika berkhotbah berpindah dari satu gereja ke yang lain, di HKBP yang 40% ini pun sesungguhnya mayoritas adalah perempuan. Kalau tiga baris bangku gereja itu penuh perempuan, dan satu baris bangku lagi kosong, dan pastilah bukan karena mereka adalah yang mabalu (janda) itu semua karena suaminya tidak hadir di gereja. Itu sebabnya minggu yang lalu ketika berkhotbah di HKBP Pasar Minggu, Jakarta, di situ gereja umumkan bahwa siapa di rumah kita yang memiliki barang-barang bekas supaya dibawa ke gereja agar kita sumbangkan ke Diakoni sosial. Minggunya, banyak sekali ibu-ibu bawa barang-barang bekas ke gereja. Ada yang membawa TV layar lebar, ada kulkas yang dua pintu, ada begitu banyak barang-barang bekas yang dibawa. Tetapi ada satu orang ibu yang dibawa bukan TV, bukan kulkas bekas, melainkan ia membawa suaminya karena mungkin tidak terpakai di rumah. Intinya yang mau saya sampaikan begini, yang butuh pemberdayaan sekarang menurut saya bukan justru perempuan, tetapi perempuanlah yang kita harapkan memperdaya para laki-laki.



Ketiga, dari huria, resort sampai ke distrik karena terlalu capek peredarannya perjalanannya sang kepala distrik tidak sampai dan itu membuat keuangan kita di kantor pusat macet Oleh karena itu sudah diputuskan dalam rapat Praeses dan MPS kita menerapkan yang disebut dengan virtual account setiap resort atau setiap huria bisa langsung mengirimkan uang ini ke kantor pusat supaya tidak terlalu lelah tidak terlalu capek parkir di mana-mana perjalanan persembahan kedua. ini tidak rahasia bapak, ibu, kebutuhan hanya untuk yang yang di apa namanya di bulan Juli dari kantor pusat setiap bulannya dan 640 orang dengan jumlah total belanja 3 setengah miliar rupiah hanya gaji kalau dengan SPJ sampai 4 miliar 1 bulan dan sampai sekarang uang natal yang semua 640 orang ini untuk 2020 belum ada bapak, ibu. Jadi hudok ma tu angka dongan, molo adong dorongan sian angka parompuan HKBP, mudah-mudahan gabe 2 hali ma uang natalta 2020 dohot 2021 on. Ala angka parompuan bendahara di jabu, pos rohata angka inang. Dan pimpinan saat ini berkomitmen bahwa hanya akan menerima na gabe jambarna. Ndang boi manjalo na so jambarna. Ingkon zero korupsi. Alani pos rohamuna, angka setoran na sian angka distrik jagaaon nami do tangkas, ndang adong unsur korupsi. Kami sudah berkomitmen untuk itu. Yang kedua, adong aset asrama putri di Medan. Hami bege adong do 1,4 M nai hutang on, nunga 4 taon lobi menganggur asrama on, asi ma rohaNi Tuhanta, pengurus na baru on ma mengurus gabe perpanjangan tangan Tuhan untuk menyelesaikan on. Na parpudi na gabe penghujung on, kepada seluruh perempuan, doa kami kiranya Tuhan menguatkan, emberkati kita semua untuk menjadi berkat. Horas!

 


Seusai pesan dari Sekjend HKBP disampaikan, Pdt. Kardi Simanjuntak, S.Th., M.Min., Kepada Departemen Marturia HKBP juga menyampaikan pesan kepada para peserta Konferensi Perempuan. Pdt. Kardi mengatakan, “Pada Konferensi Perempuan kali ini, kita bangga dan Gereja HKBP berterimakasih kepada panitia Konferensi Perempuan pada tahun ini yang meskipun kita laksanakan secara semi virtual, namun kita miliki sebagai wadah strategis untuk pemberdayaan perempuan. Konferensi ini kita harapkan mampu mendorong peningkatan pelayanan dan keterlibatan perempuan dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat demi tercapainya visi HKBP ‘Menjadi berkat bagi dunia’. Dalam upaya itu tentunya gereja, khususnya para perempuan HKBP harus benar-benar memahami masalah-masalah yang kita hadapi, khususnya persoalan perempuan. Saya pikir hal itulah yang sedang kita gumuli dalam konferensi saat ini. Realitas sosial tentang diskriminasi perempuan masih pada posisi teratas dalam pengelompokan kerentanan sosial. Perempuan mendapat perlakuan tidak adil, rentan mendapat diskriminasi, rentan mendapat kekerasan dan sebagainya. Kerentanan itu tidak hanya terjadi dalam kehidupan masyarakat namun juga terjadi di dalam keluarga, bahkan gereja tentunya, dalam bentuk yang berbeda-beda. Faktor penyebabnya salah satunya adalah faktor budaya patriakhal yang sudah mengakar dan mendarah daging di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia dan juga kalangan bangso (bangsa) Batak, sehingga kekerasan terhadap perempuan sering dianggap normal dan wajar, bahkan juga persoalan ketidaksetaraan.”



Lebih lanjut, Pdt. Kardi mengatakan, “Beberapa waktu yang lalu, didirikan sekolah bagi perempuan, yaitu sekolah Biblevrow, di Laguboti. Di sana mereka tidak hanya belajar Alkitab, tetapi juga belajar tentang kesehatan dan keterampilan. Selanjutnya dengan pendidikan tersebut, banyak perempuan berperan dalam transformasi kehidupan masyarakat Batak. Pada saat itu perlahan-lahan paradigma masyarakat tentang perempuan pun berubah dalam keluarga, gereja dan masyarakat, dan semakin mendapat perhatian. Sistem perbudakan di tanah Batak yang lebih rentan menjadikan perempuan sebagai korban perlahan-lahan mulai dihapuskan. Semangat misi para misionaris ratusan tahun lalu tetap berkobar-kobar dalam semangat para perempuan saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan yang jauh lebih tinggi. Sudah disampaikan tadi oleh Sekjend, perempuan lebih aktif daripada laki-laki, hal itu tampak jelas melalui kehadiran dalam setiap ibadah dan kegiatan-kegiatan. Dengan semangat itu mengajak seluruh perempuan HKBP untuk ikut berpartisipasi dalam pelayanan misi Tuhan, ikut serta dalam pelayanan Zending HKBP. Tentunya ini saya sampaikan karena saya ada di Departemen Marturia HKBP. Sekali lagi saya mengajak seluruh perempuan HKBP untuk ikut berpartisipasi dalam pelayanan Zending HKBP melalui program ale-ale Zending, yang menjadi penopang pelayanan, yang melaluinya kita dapat memberikan ide pikiran dan dana untuk mendukung pelayanan Zending yang berkelanjutan. Tahun ini sesuai dengan keputusan rapat MPS, kita menargetkan minimal 1000 orang warga jemaat bergabung menjadi ale-ale Zending. Harapan saya, dari 280 peserta konferensi hari ini, peserta bergabung dengan pelayanan penting dari ale-ale Zending. Saya yakin 1000 orang bisa kita pastikan terwujud pada tahun ini. Semangat perempuan tentu sangatlah diharapkan untuk mendukung program tersebut. Mari ibu-ibu, bersaksi bagi dunia ini.


Akhirnya semoga Konferensi Perempuan yang dilaksanakan pada saat ini, keprihatinan-keprihatinan sosial mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan di tengah keluarga, gereja dan masyarakat, dalam konferensi ini dilahirkan desain intervensi yang nyata. Sekali lagi, kiranya konferensi ini juga melahirkan desain intervensi yang nyata dari kaum perempuan sendiri dalam bentuk pelajaran-pelajaran yang transformatif sebagai upaya mengentaskan persoalan-persoalan sosial tersebut. Dan ini menjadi pesan dari saya sendiri kepada seluruh perempuan, khusus bagi ibu-ibu yang tengah ikut dalam Konferensi Perempuan hari ini, mari kita mulai dari diri sendiri, yang memulai hal-hal yang sederhana untuk membuahkan hal-hal yang besar. Tuhan memberkati, horas!.”


 


Kata sambutan dan pesan juga disampaikan oleh Pdt. Dr. Franklin Ishida yang mewakili Evangelical Lutheran Church di Amerika secara virtual, “Thank you for this opportunity and I bring you greetings from the Evangelical Lutheran Church in America. I know this is a woman’s conference and I’m a man, but I will bring greetings especially for my resigning Bishop Elizabeth Eaton, Principal Bishop as a woman so that’s pretty significant for our church and for the witness of the church in the world the address of your conferences I chose you and appointed you to go and bear fruit that will last John 15. This is a great verse, a great theme for you gathered here. But, we do need to ask, when Jesus speaks the words, “I chose you,” who is he talking to? From the context, this is obviously addressed to his disciples. We know the names of 12 of them. But we know from the gospel narrative that his followers, his disciples included a number of women, too. It’s important to realize, at the same time, that when we ask this question about Jesus or his chosen ones, it is not just about the past tense, the time of the Bible. I actually want to put this all in the present tense as well. So it’s not who was he talking to back then, but who is he talking to … even now, right now in our time? I have a good reason why I can claim this, and this has important significance to us here. In Matthew 28, in the so-called “Great Commission,” Jesus calls on his followers to “make disciples of all nations.” This is the missional task given to his followers. This task continues to this day. This is one of our tasks as Christians, a mission and ministry into which we are born in our baptism. So we are made disciples, even as we make disciples of others. My logic goes this way: if we are already disciples, when Jesus is speaking to his disciples whom he has chosen, then when we hear the words, “I chose you,” then that’s us. Jesus chooses us, and he is talking to us, all of us. That’s all of us, women and men together, not one or the other, not one above or against the other. Jesus chooses all of us. But you know, we have a problem. Like most of the world, we’ve been living – probably since the beginning of time – in a place where disciples are not the same, where men and women are separated by all kinds of made-up expectations or understandings of roles and responsibilities. My mother used to call herself a woman’s liberation person. This was a movement back in the 1960s to bring freedoms to women, who were caught up in all kinds of gender-defined roles. Women’s liberation, at least in the United States, brought women to the fore. They increasingly found themselves in the general workforce. It brought women out of just the kitchen and childrearing, to be equals in society. We do have a problem, though. Despite the women’s liberation movement – which did bring all kinds of changes to our societies, including women’s ordination – there still is not complete liberation or justice for women. I do want to say something about the choice of words here, whether it be women’s liberation or feminist theology. My mother always taught me that women’s liberation is not just about women. It’s also about men, too. By this, you could say that it was about liberation of all people, men and women, to be the full humans that they are. And to use another word, we’re talking here about women’s justice, or justice for women. And together with this goes justice for me. And so we get into a new world of definitions. Today we speak of gender justice. This is because even as we need to always seek to lift up women as equal partners in the life and ministry of the church, and in society at large, we need to consider that gender justice is about all of God’s creative order for humanity. We are speaking of God’s justice for women and men, for as long as there is no justice for women, even the men do not live in justice. Let me get back for a moment to the women part, though. If we’re going to talk justice, we do need to start somewhere, and that somewhere is where there is injustice. And that’s where we start with you, the women of society, the women of the church. For though God brings justice to all women and men, our society, our cultures make things out differently. I realize women can be ordained as pastors. I realize there are the Bibelfrau, who teach and preach. We have women in many reaches of our society. But are women truly a part of all that we are as church or society? If God created women and men, side by side, and together – together – in God’s image, then we still see injustice. That is plain wrong in God’s eyes. And that is plain wrong in the proclamation of the gospel for all people. We already know that women are important, a key to what it means to be in God’s image. Look at the women of the Bible. Look at Sarah. Look at Rachel. Look at Miriam, Deborah, and Ruth. Look at Hannah. Look at Mary and Elizabeth. Look at Mary Magdalene and Martha. Look at Priscilla, Phoebe, Lydia, Junia. And lest we forget the daughters of Zelophehad (see Numbers 27:1-8): Mahlah, Noah, Hoglah, Milcah and Tirzah. These five daughters, on the death of their father, challenged the culture and even God’s laws about inheritance. And God agreed with them! All these are women who had transformed society, our faith tradition, and the church itself. We are here to consider the role of women in transforming the life and ministry of the church. It’s been happening, my friends. And it needs to continue. Here I challenge you all to see first and foremost what it means to be a disciple of Christ. Yes, that’s all of us. And we carry this forward by brining justice to women, who continue to be suppressed in ways that God does not intend. If Christ commands us to make disciples of all nations; if Christ says he has chosen each one of us disciples; then we have an important job to do. Gender justice is about all of us standing before the throne of God, who has already created us male and female, together, side by side, as equal partners. At the same time, gender justice is also about uplifting those who are suppressed and oppressed. This means that gender justice is about calling out the sin. Gender justice is saying No to those forces that do not and cannot respect the humanity of each person. And gender justice is about moving us beyond particular gender-based roles and rules, and to say Yes to who we are together. All this will result in great transformation of the church. I can see a church in which mission will be about making disciples … that’s you and that’s your job on behalf of Christ himself. I can see a church in which life will reflect the kingdom of God, where we stand side by side, just as God created the first woman and man, in God’s own image. I can see a church in which ministry will not be defined by roles and responsibilities we humans may understand, but according to the gifts each person brings, whether male or female. Yes, gender justice can mean uplifting women to where they stand before God. But gender justice is also about God’s justice for all people, women or men. You are here to stand. Stand tall with the justice God already endows onto you. And be a part of that justice for the sake of humanity, society, and the church. Terima kasih!”


 


Kata sambutan dan pesan lainnya juga disampaikan oleh Kepala Departemen Diakonia, Pdt. Debora Purada Sinaga, M.Th. Dalam pesan-pesannya, Pdt. Debora menyampaikan, “HKBP dengan program gender justice diawali karena pentingnya pelayanan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan yang juga semakin marak terjadi terhadap pelayan di HKBP. Itu sebabnya dari sinilah lahir rumah singgah bagi anak dan perempuan serta pelayan korban kekerasan yang kita beri nama Tabitha House yang dilayani oleh bagian pastoral di Departemen Diakonia, yaitu Pdt. Hotnida Siagian dan juga Pdy. Evelyn Sihombing yang Master Teologianya juga tentang pastoral. Sudah puluhan tahun mereka men-support program HKBP sebagai perlindungan tunggal hingga saat ini, termasuk rumah singgah buat anak-anak dari Samosir yang tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah normal sehingga mereka terpaksa kita sekolahkan di sekolah katolik. Di saat ada seorang anak meninggal karena HIV AIDS, dia tidak diperbolehkan pemerintah setempat dikuburkan di pekuburan HKBP yang ada di Laguboti. Itu artinya sampai mati, anak dengan HIV AIDS masih mendapat stigma. Jumlah anak dengan HIV AIDS hingga kini sudah mencapai 18 orang yang dapat kita jangkau, namun yang bisa tinggal di Shelter hanya 7 orang karena sudah dibatasi oleh pemerintah Samosir. LK juga memberikan program beasiswa pendidikan formal dan informal yang memprioritaskan perempuan agar semakin memiliki kualitas yang lebih baik pada saat ini. Kita akan mendapat bantuan untuk memberangkat perwakilan untuk studi informasi, pelatihan kepemimpinan perempuan dan juga kita mendapat bantuan dari pemerintah Australia untuk memberangkatkan perwakilan untuk pelatihan. Atas bantuan LK, HKBP dipercayakan menjadi tuan dan nyonya rumah pelaksanaan Konferensi Perempuan yang kita rencanakan diadakan pada tanggal 23-26 Agustus 2021, dimana kita berharap dari peserta Konferensi Perempuan tahun 2021 ini ada yang dapat kita seleksi untuk ambil bagian dalam Konferensi Asia tersebut. Kita sebagai perempuan HKBP yang telah dipilih Allah dan ditetapkan Allah supaya menghasilkan buah, benar-benar dapat mengimplementasikan ini lewat program-program kita. Karenanya kita tidak perlu takut untuk berpacu dan bekerja keras sebagai perempuan HKBP di arak-arakan keadilan dan kesetaraan gender.”



“Kata kunci untuk lebih banyak lagi perempuan duduk dalam struktur adalah kebersamaan. Karena hal ini, bapak, ibu, tidak ada lagi masalah gender kalau perempuan sudah di dalam struktur kepemimpinan di HKBP. Namun sistem proporsional di HKBP telah kembali membuat perempuan dan presentasi perempuan baik dari kalangan pendeta, MPS dan pemuda untuk menjadi utusan Sinode Godang menjadi masalah juga karena semakin minim keikutsertaan pemuda menjadi anggota Sinode Godang. Namun ternyata ini tidak begitu menentukan, sehingga saya tetap berkeyakinan melalui Konferensi Perempuan ini untuk memungkinkan kehadiran perempuan dalam setiap pertemuan semakin mencerdaskan perempuan, berwawasan luas dan dalam hal pengambilan keputusan perlu ada kebijakan keadilan gender sebagaimana sudah ditetapkan gereja-gereja di Amerika yaitu 50% laki-laki dan 50% perempuan perlu diadopsi di HKBP menjadi kebijakan keadilan gender HKBP, karena memang keterbatasan jumlah perempuan yang tidak lagi sebanding dalam rapat-rapat pengambilan keputusan terlebih dalam pelatihan pemberdayaan. Apa yang dikatakan Ephorus dalam satu-satu perusahaan di mana seharusnya dipimpin perempuan namun tidak ada perempuan di situ terpaksa dikosongkan dulu sampai menunggu ada perempuan. Itu artinya tanpa kebijakan keadilan gender di HKBP, maka kehadiran perempuan di struktur HKBP akan lambat perkembangannya. Demikianlah yang dapat saya sampaikan dengan harapan bersikap bersama-sama melalui konferensi ini dapat mengatasi persoalan kesetaraan dan keadilan gender secara bersama-sama Tuhan memberkati horas horas horas kita berikan,” ujar Pdt. Debora Sinaga menutup sambutannya. (B.TIK_CP)

                                   

Scroll to Top