Ephorus HKBP Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST., hadir langsung mendampingi delegasi Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis Keadilan Ekologis Sumatera Utara (Sekber) dalam pertemuan resmi dengan Gubernur Sumatera Utara Muhammad Bobby Afif Nasution pada Senin (24/11/2025) di Kantor Gubernur. Pertemuan ini menjadi titik penting dalam advokasi panjang mengenai dampak operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat Tano Batak.
Dalam dialog tersebut, Gubernur Bobby secara terbuka menyatakan bahwa dampak negatif TPL “lebih besar daripada manfaatnya”. Ia menegaskan bahwa secara prinsip ia sejalan dengan aspirasi masyarakat dan lembaga keagamaan yang mendorong evaluasi tegas terhadap keberlanjutan operasional TPL.
Namun Bobby menekankan bahwa kewenangan menutup TPL berada pada Pemerintah Pusat. Kendati demikian, Pemprov Sumut berkomitmen menyusun rekomendasi resmi dalam waktu satu minggu ke depan sebagai dasar evaluasi nasional.
Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari Aksi Damai 10 November 2025 yang diikuti lebih dari 10.000 peserta. HKBP bersama gereja-gereja lain dalam Sekber dan elemen masyarakat sipil menegaskan bahwa persoalan TPL bukan lagi isu administratif, melainkan konflik yang telah menorehkan luka ekologis, agraris, dan sosial selama puluhan tahun.
Pada pertemuan tersebut, paparan disampaikan langsung oleh pimpinan Sekber Pastor Walden Sitanggang, dengan presentasi oleh Rocky Pasaribu. Mereka memaparkan sejumlah fakta penting sejak TPL beroperasi, meliputi: korban jiwa akibat konflik agraria, trauma sosial dan luka fisik berkepanjangan, kerusakan lingkungan dalam skala luas, hilangnya habitat flora dan fauna, terganggunya mata pencaharian masyarakat, terutama petani dan masyarakat adat.
Kesaksian langsung dari warga terdampak, mulai dari Tapanuli Selatan hingga Simalungun memperkuat bahwa masalah TPL bukan wacana, tetapi persoalan nyata yang berulang.
Gubernur Bobby menyampaikan bahwa rekomendasi tidak akan dibuat sepihak, tetapi berbasis: bukti lapangan, pemetaan dampak, analisa kebijakan, solusi jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia berharap Presiden RI Prabowo Subianto memberi perhatian penuh mengingat skala masalah ekologis dan agraris yang ditimbulkan perusahaan tersebut.
Ephorus HKBP Pdt. Dr. Victor Tinambunan menegaskan bahwa gereja memandang konflik ini bukan semata masalah legalitas korporasi, tetapi persoalan kemanusiaan, keadilan ekologis, martabat masyarakat adat, dan tanggung jawab negara untuk menjaga keutuhan ciptaan.
Pandangan ini juga sejalan dengan pernyataan salah satu Pembina Sekber:
“Selama TPL terus beroperasi, konflik tidak akan pernah selesai. Namun jika dihentikan, masa adaptasi setahun akan jauh lebih ringan dibanding puluhan tahun konflik. Setelah itu pembangunan bisa kembali fokus: pariwisata pulih, ekonomi tumbuh, dan kehidupan masyarakat menjadi lebih berkeadilan.”
Pertemuan ini dihadiri 41 delegasi dari berbagai latar belakang, antara lain: Ephorus HKBP Pdt. Dr. Victor Tinambunan, Ephorus HKI Pdt. Firman Sibarani, Praeses HKBP Distrik V Sumatera Timur Pdt. AAZ Sihite, Pastor Walden Sitanggang, Rocky Pasaribu, akademisi dan pakar hukum, pendamping masyarakat dan mahasiswa, masyarakat terdampak dari berbagai wilayah.
Dari pihak pemerintah hadir pejabat OPD terkait, perwakilan Forkopimda, serta perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam satu minggu ke depan, Pemprov Sumut menyiapkan rekomendasi resmi yang akan menjadi dokumen teknokratis dan politik pertama terkait posisi Pemerintah Provinsi atas keberadaan TPL selama puluhan tahun.
Kini publik menanti akankah rekomendasi ini membuka babak baru bagi pemulihan agraria dan ekologi Danau Toba dan Sumatera Utara, termasuk kemungkinan berakhirnya operasional TPL di wilayah ini?







