Epistel Minggu XXII Set. Trinitatis Tgl. 16 November 2025

 

Nats Renungan: 1 Yohanes 4: 7-12

4:7 Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.

4:8 Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.

4:9 Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.

4:10 Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.

4:11 Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi.

4:12 Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.

 

Ajaran tentang kasih sering kali terdengar begitu akrab di telinga kita. Hampir setiap khotbah, lagu rohani, atau doa selalu menyebut kata kasih. Begitu seringnya kata itu diucapkan, sampai-sampai bagi sebagian orang ia terdengar klise, seperti kata yang kehilangan makna sentuhannya. Namun, meski ajaran kasih sering diulang dan tampak usang di permukaan, maknanya tidak pernah kehilangan relevansinya.

Kasih merupakan tema yang selalu actual untuk dibahas dan direnungkan, karena kasih adalah inti dari panggilan iman kita. Kehadirannya merupakan hal utama yang paling dibutuhkan di setiap konteks kehidupan dari zaman ke zaman. Tidak ada konteks kehidupan yang bebas dari kebutuhan akan kasih, sebab hanya kasihlah yang mampu memulihkan luka-luka dunia.

Dalam nas ini, rasul Yohanes menegaskan panggilan untuk saling mengasihi. Kata “saling” mengandung makna timbal balik. Setiap orang dipanggil untuk memberi dan menerima kasih dalam relasi yang hidup. Namun bukan berarti kasih yang dimaksud adalah kasih yang bersyarat. Kasih sejati tidak menunggu untuk dibalas, dan tidak berhenti ketika diabaikan.

Kasih bukan sekadar tuntutan moral, tetapi respons iman terhadap kasih Allah yang mendahului kita. Siapa pun yang mengaku mengenal Allah haruslah menjadi pribadi yang mengasihi. Sebab mengenal Allah berarti menyelami hati-Nya, dan hati Allah adalah kasih itu sendiri. Jika seseorang tidak mengasihi, ia sesungguhnya belum mengenal Allah karena Allah tidak bisa dipisahkan dari kasih.

Kasih Allah bukan konsep abstrak yang melayang di awang-awang. Ia menjadi nyata dan konkret ketika Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia untuk menyatakan kasih itu dalam sejarah manusia. Karya keselamatan yang dikerjakan Yesus sepenuhnya merupakan insiatif Allah oleh karena besarnya cinta kasihNya kepada dunia. Karena itu, kemampuan kita untuk mengasihi sesama tidak bersumber dari kebaikan kita sendiri, melainkan dari kasih Allah yang sudah lebih dahulu mengaliri kehidupan kita. Tanpa kasih Allah, kita tidak memiliki apa pun untuk dibagikan.

Perjumpaan pribadi dengan Allah menjadi fondasi bagi relasi sosial umat percaya. Hanya mereka yang telah mengalami kasih Allah dalam kedalaman hidupnya yang mampu meneladani dan membagikannya. Kasih tidak lahir dari kekuatan manusia, melainkan dari pengalaman dikasihi. Dari sanalah kita belajar: kasih sejati tidak muncul dari perintah, tetapi dari perjumpaan dengan Sang Kasih itu sendiri.

Dunia modern mungkin menilai kasih sebagai sesuatu yang idealistis, bahkan naif, seolah kasih tidak lagi cukup di tengah kerasnya kehidupan yang penuh kompetisi dan konflik. Namun justru di dunia yang dingin dan penuh kecurigaan inilah kasih menemukan relevansinya yang paling mendalam. Kasih adalah bahasa yang paling dapat dimengerti oleh setiap hati manusia, melintasi agama, ras, usia, dan status sosial. Ia adalah bahasa ilahi yang universal, satu-satunya bahasa yang mampu menyembuhkan luka terdalam manusia.

Kasih tidak pernah berhenti menjadi aktual, karena kasih bukan sekadar ajaran atau teori etis, melainkan wujud kehadiran Allah sendiri. Kita memang tidak dapat melihat Allah secara langsung, tetapi saat kasih diwujudkan dalam tindakan saat itulah sesungguhnya kehadiran Allah menjadi konkret. Maka, sekalipun ajaran kasih sering terdengar klise, ia tak pernah kehilangan kuasanya. Kata-katanya mungkin berulang, tetapi tantangannya selalu baru. Setiap hari kita dipanggil untuk menjadikan kasih itu nyata: dalam perhatian kecil kepada orang di sekitar kita, dalam kesabaran menghadapi perbedaan, dalam keberanian untuk mengampuni, dan dalam kesediaan untuk memahami dan berempati kepada mereka yang terluka. Amin.

Pdt. Juliana Sinambela, S.Th- Staf di Kantor Ephorus HKBP

Scroll to Top