COVID – 19, VIRUS CORONA (Sebuah respon teologis) Oleh : Ompui Ephorus HKBP Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing
“Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yoh. 1: 3)
“Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
(Kol. 1: 16)
--------oOo-------
(22 April-1724 – 12 Februari 1804)
Noumenon dipahami irrational, supranaturaI dan berupa misteri (hahomion). Fenomenon itu rational, masuk akal dan selalu kelihatan dalam bentuk material (lihat Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar, L-Sapa, 2015, hal. 159-160). Kant mengatakan bahwa fenomenon itu selalu berasal dari neumenon. Keduanya, neumenon dan fenomenon selalu ada di dalam hidup. Itu berarti bahwa tidak hanya yang masuk akal saja yang ada, yang tidak masuk akal pun selalu ada. Manusia memang sudah terlanjur memahami hanya yang masuk akal saja yang benar ada. Padahal sangat banyak yang berada dalam irrational dan supranatural. Itu sebabnya firman Tuhan menyatakan “rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-ku dari jalanmu dan rancangan-ku dari rancanganmu.” (Yes. 55: 8-9) – “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Luk. 1: 37)”.
Sang Pencipta.
Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi. Allah menciptakan yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Makhluk besar dan makhluk kecil. Ia menciptakan yang nampak dan yang tidak nampak dilihat oleh mata. Dia menciptakan segala sesuatu.
Kata kerja menciptakan – pencipta yang dipakai dalam Alkitab Perjanjian Lama - Biblia Hebraica adalah kata bara dan demud. Kata “bara”, menciptakan – tanpa membutuhkan kata benda (akusatif). Sedangkan ”demud” dilakukan dengan bantuan benda. Misalnya menciptakan kursi dari kayu. Kayu adalah keterangan akusatif. Sementara kata bara tidak membutuhkan akusatif. Sehingga, hanya kepada Allah saja dipakai kata kerja bara, sebab hanya Allah saja yang dapat menciptakan sesuatu tanpa bantuan benda atau akusatif. Bara Elohim – Allah menciptakan langit dan bumi. Terjadi sedemikian rupa. Tidak terbuat atau berasal dari sesuatu benda sebelumnya.
Itu sebabnya penciptaan yang dilakukan Allah disebut creatio ex nihilo – penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada. Allah hanya menyebut “jadilah terang”, maka terang itu pun jadi.
Setelah Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya – termasuk manusia – Allah melihat ciptaan-Nya sungguh amat baik (Kej. 1: 31). Jadi tidak ada ciptaan Allah yang tidak baik. Bahkan tidak ada ciptaan yang saling menghancurkan (band. Yes. 11: 6-9)
Kata kerja “demud” dikenakan kepada manusia. Manusia dapat menciptakan sesuatu bila dengan bantuan benda sebelumnya. Misalnya membuat kursi dari kayu. Itulah sebabnya Philip Hefner mengatakan manusia adalah sebagai co-creator, sedangkan Allah adalah creator (lihat Philip Hefner, Human Factor, Philadelphia: Fortress Press, 1993).
Bila Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada disebut creator. Manusia sebagai co-creator. Manusia menciptakan hanya dalam perubahan bentuk, perkembangan yang dibutuhkan dan perubahan fungsi.
Namun penciptaan yang dilakukan manusia tidak selalu sesuai dengan yang direncanakan dan yang diharapkan. Adakalanya perbuatan dan cipataan manusia mempunyani ekses, dampak, akibat, sehingga mengakibatkan sesuatu yang tidak diharapkan dalam kehidupan. Masalah yang kita hadapi sekarang, pandemic Covid-19, Virus Corona, belum dapat dipastikan apakah itu ciptaan manusia atau ekses, atau-dampak,-perbuatan manusia. Apakah hasil dari yang direncanakan.
Theodise.
Theodise adalah suatu bidang teologi yang khusus mencari tahu dan meneliti apa dan bagaimana sikap dan tindakan Allah terhadap suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pemahaman ini dilatarbelakangi oleh pengenalan dan kepercayaan manusia sebagai umat yang percaya kepada Allah.
Ada dua sisi pengenalan dan kepercayaan manusia kepada Allah. Pertama, dengan sifat kataphasis – sifat Allah yang Maha Tahu, Kekal, Maha Kuasa, Maha Kudus dan lain-lain. Kedua, dengan sifat apophasis – tidak terukur, tidak terhingga, tidak berawal, tidak berakhir dan lain-lain (lihat buku “Teologi di Pasar Bebas”, hal. 159).
Dengan adanya pengenalan terhadap Allah seperti itu, maka pertanyaan adalah: Apakah bencana yang terjadi di dalam kehidupan manusia diketahui Allah? Bila diketahui mengapa tidak diatasi? Atau, mengapa dibiarkan? Atau apakah Allah memang tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam kehidupan manusia? Bila demikian halnya, apakah Allah tidak Maha Tahu? tidak Maha Kuasa?
Pertanyaan-pertanyaan itu ternyata banyak mendapat sambutan. Terlebih di zaman pola pikir modern, yang mendewakan pikiran rasional, seperti penganut Deus Machina – Allah di luar mesin. Dikatakan dunia dan segala isinya termasuk manusia – diciptakan oleh Allah. Namun ibarat pencipta mesin, setelah selesai menciptakan, Allah sudah berada di luar mesin yang diciptakannya itu. Pencipta dengan yang diciptakan tidak lagi ada hubungannya. Itulah paham Deus ex Machina. Mereka memahami, apa saja yang terjadi di dunia ini tidak lagi urusan penciptanya. Dengan demikian, apa saja yang terjadi, termasuk segala kebutuhan manusia dalam kehidupannya tidak lagi urusan Pencipta – yaitu Allah.
Tentu saja kita – pengikut Yesus Kristus, tidak sepaham dengan ajaran Deus ex Machina itu. Kita bahkan percaya dan mengakui bahwa Allah itu tidak hanya Pencipta – Creator – tetapi juga Pemelihara. Dunia ini, termasuk hidup manusia berada di dalam Providentia Dei – Pemeliharaan Allah. Oleh karena Allah yang menciptakan manusia, maka Allah sendirilah yang menjadi pemilik manusia. Allah tidak rela bila manusia menjadi milik iblis. Oleh sebab itulah ketika manusia jatuh ke dalam dosa dan berada di dalam kekuasaan iblis, maka Allah mengambil inisiatif, memperoleh dan mengembalikannya menjadi milik-Nya. Allah mengutus Yesus Kristus – dari diriNya sendiri – agar manusia kembali kepada Allah dan menjadi milik Allah. Itulah yang dilakukan Yesus Kristus melalui pengorbanan-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya sehingga manusia kembali menjadi milik Allah (1 Kor. 6: 20).
Kembali kepada penganut Theodise. Lalu dimanakah Allah, dan bagaimana sikap dan tindakan Allah, ketika manusia mengalami bencana pandemic Covid-19, Virus Corona. Pertanyaannya adalah:
a.Apakah Allah mengetahui adanya virus corona?
b.Apakah Allah mengetahui bahayanya?
c.Apakah Allah tidak sanggup atau tidak dapat menghentikan virus corona?
d. Bila Allah mengetahuinya, mengapa Ia tidak mau mencegahnya?, Mengapa Allah tega membiarkannya
Sebenarnya masalah bencana, hama atau malapeataka yang dialami manusia cukup banyak. Pertanyaan yang berhubungan dengan masalah theodise juga sering muncul sehubungan dengan bencana-bencana alam dan kemanusiaan tersebut.
Di sini akan diberi jawaban yang tepat dan akurat sesuai dengan keberadaan hakekat Allah:
Dalam setiap peristiwa, bencana dan malapetaka yang terjadi inilah kemungkinan yang terjadi:
1.Allah mengetahui bencana itu tetapi Allah membiarkan itu terjadi, sebagai hukuman bagi manusia.
2.Allah mengetahui dan mengizinkan bencana itu terjadi, sebagai pengajaran terhadap perilaku manusia.
3.Manusia merupakan sumber bencana itu, misalnya akibat dari tindakan atau kelalaiannya. Allah mengetahui dan akan bertindak untuk mengatasinya.
Dalam hal pandemic virus corona yang terjadi sekarang, kita harus menyelidiki dan bertanya di dalam iman, mengapa terjadi virus corona tersebut. Namun satu hal yang dapat diimani, bahwa Allah tidak akan membiarkan umatNya berada di dalam ketakutan dan berada di bawah ancaman kematian. Sebab Allah itu adalah Allah yang hidup, yang Maha Pengasih dan Penyayang. Mungkin Allah meminta sesuatu yang perlu kita lakoni di dalam kehidupan ini. Allah selalu menginginkan agar umatNya selalu mengalami kebahagiaan dan damai sejahtera.
Kita masih mengingat, ketika bangsa Israel dibuang ke Babelonia. Pembuangan ke Babilonia adalah tindakan Allah karena keberdosaan umat Israel. Namun Ketika umat Israel berada dan hidup dalam kesengsaraan, mengalami berbagai penyakit, lalu berseru kepada Allah untuk kesembuhan mereka, maka akhirnya Allah berfirman kepada Israel:
“Sesungguhnya, Aku akan mendatangkan kepada mereka kesehatan dan kesembuhan, dan Aku akan menyembuhkan mereka dan akan menyingkapkan kepada mereka kesejahteraan dan keamanan yang berlimpah-limpah.”
(Yer. 33: 6)
Itulah Tuhan kita, yang perduli kepada kita, kepada kesehatan, kesejahteraan dan kehidupan damai umat-Nya.
|