Sekretaris Jenderal Berikan Sesi Terminal Illnes di Training CPE


Terminal Illnes adalah suatu kondisi pasien sedang menderita sakit di tingkat yang telah mencapai stadium lanjut sehingga untuk diobati secara medispun sudah tidak mungkin lagi untuk dapat disembuhkan.Demikian salah satu paparan Sekretaris Jenderal Pdt David Farel Sibuea MTh DMin pada saat memberikan sesi kepada peserta Training Clinic Pastoral Education di RSUD Djasamen Saragih, Rabu (8/5/2019).

Lebih lanjut lagi, Sekjen menjelaskan, pasien yang menderita Terminal Illness harus segera mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit.Namun, hal ini tidak untuk menyembuhkan karena sudah tidak dapat berfungsi lagi.Dalam hal ini bagaimana kita mendampingi dan melayani mereka secara pastoral konseling karena kemungkinan secara medis tidak dapat disembuhkan.Bahkan, mempersiapkan mereka untuk menghadapi kematian dan juga orang-orang yang mengasihinya atau keluarga dekat. Dengan singkat mempersiapkan kematiannya,” ujarnya.

Mengalamigangguan secara fisik, psikososial, dan spiritual akan memengaruhi aktivitas sehari-hari yang membuat penderita membutuhkan seseorang untuk merawat dirinya.Seseorang yang melakukan perawatan kepada anggota keluarga yang menderita penyakit kronis maupun penyakit terminal dapat disebut sebagai caregiver. Caregiver didefinisikan sebagai seseorang yang secara teratur menyediakan bantuan dengan memberikan perawatan primer seperti komunikasi, mobilitas, transportasi, mengurus rumah tangga, dan perawatan diri.


Perawatan paliatif yang diberikan kepada pasien Terminal Illness untuk meredakan nyeri yang dirasakannya, mengurangi gangguan emosi, sosial dan spiritual. Jadi penderita yang mengalami kondisi seperti ini didiagnosa dengan penyakit yang sangat berat sehingga tidak dapat disembuhkan lagi selain prognosisnya adalah kematian.

Jenis-jenis penyakit Terminal Illness, antara lain:penyakit kanker, gagal ginjal kronis, multiple sklerosis, HIV/AIDS, diabetes militus, akibat kecelakaan fatal miningitis.

Berikut yang dialami oleh pasien dengan limafase menjelang kematian; pertama, Deniel(fase penyangkalan atau pengingkaran dan pengasingan diri). Ketika seseorang disadarkan, dirinya akan meninggal,maka dia tidak akan bisa menerima informasi tersebut sebagai suatu kebenaran. Hampir tidak ada yang percaya bahwa kematiannya sudah dekat.Namun, hal ini merupakan suatu reaksi umum terjadi, yang pada awalnya menyangkal dan akhirnya bisa menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi.

Kedua, anger (fase kemarahan). Ketika pasien sadar, dirinya akan meninggal, maka akan muncul rasa ketakutan dan kemarahan. Sikap yang rewel dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan rumah sakit atau dirumah. Ketiga, bargaining (fase tawar-menawar). Pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama lagi ataupun dikurangi penderitaannya.

Keempat, depresion (fase depresi). Pasien akan merasa putus asa karena sudah tidak ada harapan untuk masa depannya lagi. Jika orang yang percaya, mungkin dia akan menerima kenyataan tersebut walaupun begitu perasaan putus asa pasti akan dialaminya. Kelima, acceptance (fase menerima). Pada umumnya setelah jangka waktu tertentu, pasien akan dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat sehingga mereka mulai kehilangan gairah untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan yang ada disekitar.


Dalam kondisi penyakit atau stadium akhir yang diderita berdasarkan diagnosis dari dokter pemeriksa serta hal tersebut telah disetujui oleh dokter memrediksi bahwa harapan hidup si penderita kurang dari beberapa bulan atau lebih.  Terminal Illness yang disebabkan oleh berbagai hal, bisa berproses dan bisa secara tiba-tiba, maka ada waktu persiapan untuk menghadapi kematian.

Kepala Departemen Marturia Pdt Dr Anna Ch Vera Pangaribuan turut memberkan sesi Pendampingan Pastoral. Dalam Teologi Pastoral terdapatpendampingan pastoral. Artinya suatu profesi pertolongan.Seorangpendeta atau pastormengikatkandiri dalamhubunganpertolongan denganorang lainagardengan terang Injil danpersekutuandengan gereja Kristus dapatbersama-samamenemukan jalan keluarbagipergumulandan persoalan kehidupandan iman.

Pendampingan pastoral berhubungan denganmanusia tidak peduli terhadap berbagai macam kepercayaan, kedudukan sosial, atau prestisnya. Suatu pendampingan yang ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam segala perjalanan hidup ini. Dari seorang tukang batu sampai kepada insinyur bangunan, dari seorang juara olahraga sampai kepada orang yang cacat, dari seorang anak sekolah dasar sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek.

Pendampingan pastoral tidak bisadihayati dengan hanyabelajar teknik-tekniknya. Seorang harus jugamempelajari manusia yang terlibat dalam pendampinganpastoral danrelasidi antara mereka itu. Mengapa Pendampingan Pastoral?Jikalau ada orang yang melayani orang lain yang  mengalamikesukaran atau musibah, biasanyaorang lain menganggap hal itumemang  selayaknya harus dilakukan dan kalau toh orang yangmelayani atau menolong itu dihargai, maka  dia dinilai sebagaiorangyang baik.


Jarang sekali ada orang yang menanyakanalasannyaataudasarnya mengapa seseorang maumelayaniorang lain.Bagi orang Kristen, panggilan  untuk saling melayanidasarnya bukankarenaorang Kristen itu baik, namunsebenarnyaadaalasan yangazasi dari Tuhan yangmelandasi  panggilan itu,seperti yang tertulis dalam Yohanes 13: 34, Yesus berkata:“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supayakamusaling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihikamudemikian pula kamu harus saling mengasihi”.

Tujuan dasar pendampingan pastoral adalah membantu orang untuk mengenal kasih sebagai suatu hal yang diterima maupun diberikan sehingga kepemimpinan dalam pendampingan pastoral seharusnya memampukan orang-orang lain untuk mendayagunakan bakat-bakat kepemimpinan mereka pada saat-saat yang tepat.

Pelaksanaan pelayanan konseling pastoral dibagi dalam beberapa hal, yaitu:pertama, disiplin pelayanan jasmaniah. Kasih diterima melalui suara, ekspresi wajahdan mata, kehangatan tubuh sesama dan kesejukan sentuhan. Kedua, menceriterakan dan mendengarkan kisah-kisah. Karena harus mendengar kisah kenang-kenangan yang tidak berkesudahan, sering dianggap cengeng, penuh dengan luka batin. Karenanya, seringkali pendampingan pastoral jadi melelahkan dan membosankan. Disinilah disiplin perlu berperan karena partisipasi dan tanggapan pendengar dalam kisah dapat membantu klien untuk bercerita lebih mendalam dan mengarahkannya menuju rekonsiliasi atau pemahaman yang lebih baik.

Ketiga, hasrat dan kebenaran. Kehadiran fisik dan proses mendengarkan kisah di dalam pendampingan pastoral jarang berlangsung secara pasif, non-direktif atau menerima dalam arti tanpa konfrontasi sama sekali.Seusai sesi dari Kadep Marturia, acara perkunjungan dilakukan kembali pada sore hari ini dengan pasien yang berbeda.

Kepala Bagian Departemen Marturia Pdt Galumbang Rajagukguk memimpin ibadah pagi pada pukul 08.00 wib. Dalam khotbahnya yang dikutip dari Kejadian 50:21, ia mengatakan, kebaikan yang dilakukan saat ini akan jauh lebih baik meskipun ada banyak tantangan yang dihadapi ketika melakukan kebaikan itu sendiri.

Dalam kisah di Kejadian 50: 21, Yusuf berbuat bagi ditengah keluarganya, bukan berarti ia tidak mempunyai tantangan dan hambatan. Justru dia mengalami ancaman yang besar, tetapi semua itu dikalahkan atas ketaatannya kepada Allah hingga akhirnya dia menyelamatkan keluarganya dari kelaparan. Kepuasan dan kelegaan yang diterima oleh saudaranya merupakan anugerah dari Allah melalui Yusuf. Demikian juga kita yang mengikuti pelatihan ini, kita diajak dan diharapkan selalu berbuat baik meskipun besar dan banyak tantangan yang akan kita hadapi. Melalui pelatihan ini, baiklah kita diperlengkapi untuk melakukan yang terbaik dan melakukan yang benar,” tuturnya.

Sesudah ibadah, acara life story kemudian dilanjutkan lagi, sebab masih ada beberapa perserta yang belum menyelesaikan penjelasan life storynya.(JLS / Edt: DM)

Pustaka Digital