JAKARTA (26/7) – Sebagai bentuk dukungan atas seruan Ephorus HKBP Pdt. Dr. Victor Tinambunan, M.Th., MST., Panitia Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup menyelenggarakan seminar kedua bertema “Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba” di Gereja HKBP Kebayoran Baru, Sabtu (26/7/2025) pukul 13.00-17.00 WIB. Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menuju aksi puncak Doa Bersama pada 17 Agustus 2025, bersama 2.025 peserta dari jemaat HKBP di Jakarta, Bekasi, Deboskab, dan Banten, serta komunitas-komunitas yang mendukung perjuangan ini. Aksi ini merupakan simbol solidaritas lintas iman dan profesi dalam mewujudkan keadilan ekologis dan pemulihan martabat masyarakat Batak.
Seminar ini menjadi bentuk dukungan penuh terhadap seruan resmi Ephorus HKBP untuk menghentikan operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang selama ini dinilai merusak lingkungan dan merampas tanah adat di wilayah Tano Batak. Praeses Distrik VIII Jakarta, Pdt. Oloan Nainggolan, menegaskan bahwa seminar ini bukan sekadar diskusi akademik, melainkan wujud nyata gerakan gereja yang menjawab seruan profetik Ephorus HKBP. “Jika ada makhluk yang menderita atau bahkan musnah dari bumi, itu adalah tanggung jawab kita. Seruan Tutup TPL adalah panggilan iman, bukan sekadar agenda sosial, tetapi manifestasi dari suara gereja untuk keadilan,” ujarnya.
Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa, Th.D. dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, menambahkan bahwa perjuangan ini tidak hanya soal penyelamatan alam, tetapi juga pemulihan identitas. “Jika Tanah Batak dirusak dan Danau Toba kehilangan makna sakralnya, maka kita kehilangan makna sebagai Masyarakat Batak Toba. Ini bukan hanya isu ekologis, ini krisis eksistensial,” tegasnya.
Semangat yang sama juga digaungkan oleh Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang menyoroti ketangguhan masyarakat adat dalam mengelola alam. “Kita memiliki lebih dari 100 kelompok usaha adat yang terbukti mampu menciptakan ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan. Negara seharusnya belajar dari mereka, bukan menyerahkannya ke investor besar seperti PT TPL,” tegasnya.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan perampasan tanah adat oleh PT TPL melanggar prinsip keadilan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. “Kita melihat bagaimana teologi tanah hadir dalam hukum agraria Indonesia. Tanah bukan komoditas, tetapi anugerah Tuhan yang harus dikelola adil dan lestari,” jelasnya. Ia menyerukan agar pemerintah segera menjalankan Reforma Agraria yang sejati demi masyarakat Batak dan pekerja eks-TPL yang selama ini terpinggirkan.
Supardy Marbun, pensiunan Kementerian ATR/BPN, menyatakan bahwa negara wajib hadir dalam pemulihan hak-hak tanah ulayat masyarakat adat. Hal ini sejalan dengan misi gereja yang bersuara bagi mereka yang tertindas, sebagaimana ditekankan oleh Ephorus HKBP.
Sementara itu, Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menegaskan perlunya mendorong hilirisasi industri berbasis kerakyatan. “Industri ekstraktif seperti TPL menciptakan ketergantungan dan eksploitasi. Kita butuh model ekonomi yang berakar pada kekuatan lokal, yang memuliakan tanah dan manusianya,” katanya.
St. Dr. Leo Hutagalung selaku panitia pelaksana menegaskan bahwa seminar ini adalah bentuk nyata implementasi mandat dari Ephorus HKBP. “Kepanitiaan ini dibentuk atas dasar SK Ephorus untuk merespon kerusakan ekologis dan perampasan hak masyarakat adat. Maka kami mengajak seluruh umat untuk aktif dalam gerakan ‘Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba’,” tegasnya.
Seminar merupakan kolaborasi antara HKBP dan jaringan masyarakat sipil seperti Kelompok Studi dan Pengembangan Pemrakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), serta Yayasan Forum Adil Sejahtera.
Seminar tidak hanya memperkuat seruan Tutup TPL sebagai tuntutan ekologis, tetapi juga mempertegas komitmen gereja dalam menjalankan misi kenabian sebagaimana telah dikobarkan oleh Ephorus HKBP untuk menegakkan keadilan, memulihkan martabat, dan hidup selaras dengan kehendak Sang Pencipta.