BOGOR (9/9) – Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt. Rikson M. Hutahaean, M.Th., menyampaikan pembinaan penting di hadapan para Pendeta HKBP Distrik XIX Bekasi dalam Rapat Pendeta yang dipimpin oleh Praeses Pdt. Henri Napitupulu, M.Th. Dalam paparannya, Sekjen HKBP menekankan bahwa tema transformasi HKBP tidak hanya sebatas perubahan fisik, melainkan sebuah visi mendalam untuk merevolusi perilaku organisasi dan penatalayanan di tengah era digital.
Perubahan Perilaku dan Tantangan Sentralisasi Keuangan
Pdt. Rikson Hutahaean membuka pembahasannya dengan menegaskan bahwa sentralisasi keuanganmenjadi pendorong utama transformasi. Namun, perubahan yang mendadak ini tak luput dari tantangan. Ia mengakui adanya perdebatan dan gesekan di kalangan jemaat, yang mencerminkan sulitnya mengubah kebiasaan lama. “Transformasi ini memperkenalkan manajemen baru dengan fokus pada pembaruan perilaku berorganisasi, untuk memastikan kekuatan gereja tetap kokoh,” ujarnya.
Dalam sesi yang sama, ia secara terbuka mengkritik sistem persentase persembahan sebesar 55% yang dianggap tidak memiliki dasar Alkitabiah yang jelas. Pdt. Rikson menyarankan agar sistem ini dievaluasi total dan diganti dengan model budgeting yang lebih rasional. Ia juga menyoroti ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi, di mana gereja-gereja kecil yang memiliki aset finansial kuat justru merasa dirugikan, yang berpotensi melukai tubuh Kristus.
Belajar dari Sejarah dan Kritik Terhadap Jemaat Modern
Pdt. Rikson Hutahaean membawa peserta rapat ke dalam sejarah HKBP dengan sebuah analogi yang kuat: Pergunungan. Dahulu, Pergunungan adalah daerah terpencil tempat orang-orang yang disingkirkan. Namun, kehadiran misionaris mengubahnya menjadi pusat pendidikan, pelayanan, dan modernisasi. Sejarah ini mengajarkan bahwa transformasi sejati lahir dari kesulitan dan perjuangan, bukan dari zona nyaman.
Ia juga melontarkan kritik pedas terhadap jemaat modern yang cenderung menjadi “penikmat kejayaan masa lalu” dan kurang memiliki inspirasi untuk menciptakan hal baru. “Kita harus pulih dari persoalan-persoalan internal dan kembali menjadi gereja yang berani menghadapi tantangan,” tegasnya.
Empat Pilar Utama Transformasi HKBP
Pdt. Rikson memaparkan empat aspek krusial yang harus ditransformasi, dengan penatalayanan (manajemen) sebagai fokus utama. Ia menekankan bahwa manajemen gereja berbeda dari korporasi dan tidak dapat diatur hanya berdasarkan cash flow. Oleh karena itu, pengurangan tenaga kerja pelayan adalah hal yang mustahil karena bertentangan dengan prinsip teologi.
Sebagai solusi, ia mendorong digitalisasi aset dan data jemaat. Dengan membangun database jemaat yang lengkap dan terintegrasi, gereja bisa lebih efektif dalam penatalayanan, mulai dari mengirimkan notifikasi ulang tahun dengan ayat Alkitab secara otomatis hingga memastikan penempatan pelayan yang tepat. “Peta kompetensi dan peta jemaat perlu dibangun untuk meminimalisir konflik yang berbasis emosi,” katanya.
Peran Sentral Pendeta dan Masa Depan HKBP
Transformasi ini menuntut peran ganda dari seorang pendeta—sebagai pemimpin, fasilitator, konselor, dan administrator yang efektif. Ia juga harus menjadi “pembelajar sepanjang zaman”. Pdt. Rikson mengakui bahwa sentralisasi telah memengaruhi perilaku pelayan, di mana banyak yang meminta untuk segera dipindahkan, sebuah indikasi adanya ketidaknyamanan.
Di akhir paparannya, Sekjen HKBP menutup dengan ajakan penuh harapan. Ia yakin bahwa melalui digitalisasi dan perbaikan sistem, HKBP akan pulih dari persoalan internalnya. “Transformasi ini adalah rekonsiliasi yang menyatukan kembali kita dari masa-masa sulit,” tutupnya. Visi ini diharapkan akan menjamin keberlanjutan gereja di masa depan, menjadikannya gereja yang kokoh, misioner, dan suka melayani.